TAFSIR
ALQURAN DENGAN PENDAPAT TABI’IN
Oleh:
Roni Faslah (31161200000059)
A.
Pendahuluan
Kebutuhan akan tafsir menjadi lebih penting
lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya
terbatas di akhirat kelak. Petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan
manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan
hanya pada seseorang saja atau satu generasi. Karena ayat-ayat Al-Qur’an adalah
selalu terbuka untuk interpretasi baru dan tidak pernah pasti tertutup dalam
interpretasi tunggal.[1]
Tak
dapat dipungkiri bahwa studi al-Qur’an selalu berkembang sejak Al-Qur’an
diturunkan hingga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat
dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa
upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini
merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu
menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan
mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan
konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi
perkembangan tafsir.[2]
Maka
dalam sejarah berkembagnya tafsir memberikan bentuk tafsir atau corak metode tafsir
yang berbeda-beda, baik itu yang dilakuakan sejak masa pirode klasik (masa
rasullulah SAW) lalu sampai masa periode tafsir modern atau kontoporer yang
dilakukan para ulama atau inteletual muslim. Dalam ini akan melihat bagaimana
tafsir tabi’in yang mana bisa dibilang masa klasik (tafsir bil ma’tsur).
Sarjanawan mengatan bahwa berakhirnya priode abad pertama yaitu masa generasi
sahabat, lalu dilanjutkan abad kedua tafsir adalah periode tabi’in. Tafsir pada
masa tabi’in telah mengalami perkembangan sesuai dengan pekembangan
masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Para mufassir ini konsentrasi pada
apa yang ada dalam Al-Qur’an, riwayat sahabat dan ijtihad atas kajian terhdap
kitabullah. Manakalah mereka tidak menemukan jawaban dari keterangan nabi atau
hadist dan sahabat, terpaksa melakukan ijthad agar menemukan jawabannya.
Dalam
makalah sederhana ini, penulis hanya fokus membahasa atau menkaji bagaimana
tafsir alquran dengan pendapat tabiin, baik dilihat dari history dan kedudukan,
metodenya.
B.
Sejarah
Tafsir Tabi’in
Tabi’in merupakan jamak dari تابعين (tabi’i) atau تابع (tabi’). Menurut bahasa تابعين berarti pengikut dan التابع adalah isim fail dari تبعه yang artinya berjalan dibelakangnya. Menurut istilah tabi’in adalah sebagai berikut “Adalah
seorang muslim yang bertemu dan belajar dengan seorang sahabat lalu mati
dalamberagama Islam”.[3]Jadi
Tabiin merupakan seorang muslim yang berjumpa dan mendalami ilmu agama
(Al-Qur’an) dengan sahabat Nabi SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi SAW.
Dalam hal penafsiran yang ada pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima
baik oleh para ulama dan kaum tabi’in diberbagai daerah kawasan islam.
Dan Al-Shabuni menyebut bahwa mufassir pada masa tabi’in jumlah
sangatlah banyak, lebih banyak daripada mufassir para sahabat. Banyak tokoh
penafsir muncul dari kalangan sahabat yang telah memberikan sumbangan besar
dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga para generasi selanjutnya dapat mengambil
penafsiran dari pemikiran mereka.[4]
Hal itu yang jadi cikal bakalyang dilanjutkan muncunya tafsir generasi tabi’in
yang tadi beguru dari para sahabat. Dan sahabat yang tentunya yang memdapat
pelajaran lasung dari Nabi mengenai pemahaman Al-Qur’an.
Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah,
Madinah dan daerah lain, masa ini terjadi kira-kira tahun 100 H / 723 M -181/812
M. yang di tandai dengan wafatnya tabi’in terakhir. Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy juga mennyatakan Tafsir
para sahabat disambut segolongan tokoh-tokoh yang tersebar diberbagai kota.
Maka berkembanglah di Makah suatu thobagot mufassirin[5]
yaitu, thobaqot Madinah, dan thobagot Iraq.[6]
Kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah Bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin
Jubair ( w.93 H ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud.[7]
Tabi’in yang terkenal adalah murid murid Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas adalah Mujahid
Ibn Jabir, Atha’ Ibn Rabah dan Ikrimah Mauah Ibnu Abbas dan yang paling banyak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan yang paling sedikit adalah Mujahid,
kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Al-Qamah An Nakha’y , Masruq
Ibnu Al-Ajda al-Hamdany, Ubaidah Ibnu Amr As-Silmany, dan Al-Aswad Ibnu Yasid
An Nakha’y.
Adapun sekolah-sekolah tafsir pada masa tabi'in terbagi menjadi :
1.
Madrasah Ibn
Abbas di Makkah
Banyak ulama
tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqat ulama Makkah mereka
adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini.
Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana
disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima,
yaitu :
a.
Mujahid ibn Jabir
Mujahid
dilahirkan pada tahun 21H dan wafat pada tahun 103 H.[8] Ia adalah Mujahid ibn Jabr
Al-Makki Maula al-Sa’ib Ibn Abi al-Sa’ib,
murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim
dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
Mujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir.
Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn
Abbas sebanyak tiga puluh kali”. Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali
saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang
sampai 30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang
kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata,
aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku
berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaimana ia turun.[9] Sehubungan dengan ini,
imam Nawawi berkata, ‘apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah
untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain.
b.
Sa'id ibn Jubair
Ia adalah
Muhammad Said ibn Jubair Ibn Hisyam al-Asadi (27 H- 114 H), berasal dari
Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari
kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk
pemuka dan imam tabiin. Ia sangat menguasai tafsir, hadist dan fiqh. Ia telah
berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping
menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan
itu. Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an,
mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun hal demikian,
ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian
ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn
Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in
mengerti tafsir.
c.
Ikrimah
Ia adalah Abu
Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (25 H-105H), berasal dari
Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin
dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi
Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia
pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk
menyebarkan ilmunya. Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang
keilmuan, khususnya dibidang tafsir.
Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku
lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’,
Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan
pertanyaanpertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir
kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat
ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan
masalah ini. Diantara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid
bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’I : Tidak
ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih
banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski
demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya.
Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia
tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari
berkata : Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
d.
Atha' ibn Abi
Rabah
Ia adalah Abu
Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki (27 H-115 H),- Ia termasuk pemuka
tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW. antara
lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita
bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah,
faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Makkah puncak fatwa kembali
kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata,
Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu.
Dikatakan kepadanya : Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendiri ?
Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi
ini.
e.
Thawus ibn Kaisan
al-Yamani
Nama lengkapnya
adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani (33H-106H), orang pertama
dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra
mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal.
Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan
bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a.
berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga. Ia juga meriwayatkan dari
empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas,
karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia
merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli
ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.
2. Madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan
menancapnya iman, maka guru tafsir kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat
agung yaitu Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap
tinggal di Dar al-Iman. Para tabi'in banyak menafsirkan Al-Qur’an yang kemudian
disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini
telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan kata lain
pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi, kalau
begitu tafsir bir ra’yi tidak perlu dijauhi sepanjang memiliki aargumentasi
yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.[10]
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada
tiga, yaitu :
a. Abu al-Aliyah adalah Rafi’ibn Mihran al-Rayyabi maula
al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk
periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’
ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian
akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah
menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b. Muhammad ibn Ka’ab al-Qurzi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di
samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia
dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil
Al-Qur‟an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim
tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk
pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub
al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c. Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih
al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi‟in dan
termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan
keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur‟an
dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di
antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah.
Ia wafat tahun 136 H.
3.
Madrasah Ibn
Mas'ud di Kuffah
Seperti halnya di Makkah terdapat Ibn Abbas
sebagai guru tafsir pada masa tabi'in, di Irak terdapat Abdullah ibn Mas'ud
yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kuffah. Di Kuffah beliau juga
mengajarkan tafsir kepada penduduk Kuffah (dipandang para ulama sebagai cikal
bakal lahirnya ahli ra'yi). bersifat ra’yi dalam hal ini wajar karena jauh dari
pusat study hadist yang ada di madinah sebagai akibatnya maka timbul banyak
masalah khilafiyyah dalam menafsirkan al-quran yang selanjutnya memunculkan
metode istidlal (mengambil ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Di
antara murid-muridnya yang terkenal adalah :
a.
Alqamah Ibn Qais
Ia lahir disaat
Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas‟ud. Banyak ulama
yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari
ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61
atau 62 H.
b.
Masruq ibn
al-Ajda’ ibn Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang
wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan pula
dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap
Kitabullah.
Banyak ulama yang
menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c.
Al-Aswad ibn
Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk
periwayat Ibn Mas‟ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah,
Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama
yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga
mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.
Murrah
al-Hamadzani
Ia adalah Abu
Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan
Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan
sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn
Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya‟bi dan yang lain.
Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang
menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah.
Ia wafat tahun 76 H.
e.
Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr
Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi‟i al-Jalil Qadli Kufah.
Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak
mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah,
Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Meski banyak ilmu, ia sangat
berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn
Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn alMusayyab dan Amir
al-Sya‟bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur‟an dan mereka menahan diri dari
menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku
tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu.
Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.
Al-Hasan
al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id
al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula alAnshar. Ibunya
adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn
al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan
tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih,
tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan
kalangan tabi’in. Hadistnya ada di alKutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110
H dalam usia 88 tahun.
g.
Qatadah ibn Di’amah
al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab
al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas‟ud,
disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah,
Atha‟ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas
wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan
menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan
banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia
menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan
ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta
menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui
orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam
usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[11]
Mereka itulah para mufasir terkemuka dari
kalangan tabi’in di sejumlah kota-kota Islam dengan ragam tingkatan kemampuan
mereka tidak ragukan lagi bahwa sekolah Ibn Abbas mengemban panji kepeloporan
di bidang tafsir, sehingga Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa yang paling
menguasai tafsir adalah ulama Mekkah, karena mereka telah berguru kepada Ibn
Abbâs. Ulama-ulama yang dimaksud adalah Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah,
Sa’id bin Jubayr, dan Tawus.[12]
C.
Kedudukan
Tafsir Al-Qur’an Priode Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al-
ma’tsur dari tabi‘in bila tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari
Rasulullah atau sahabat, apakah tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah
ulama berpendapat bahwa tafsir tabi‘in tidak diambil karena mereka tidak
sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang
menyertai turunnya, sehingga mereka mungkin melakukan kesalahan dalam memahami
apa yang dikehendaki al-Qur’an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak
ada jaminan dalam al-Qur’an maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan
para sahabat. Sebagian mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi‘in di bidang
tafsir diakui dan diambil, karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut
dari sahabat, dan status sahabat adalah ‘adl. [13]
Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana kedudukan pendapat tabi’in,
bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis katakan bahwa pendapat tabi’in tetab
termasuk tafsir bil ma’tsur, dan bisa dijadikan hujah, karena tafsir ini
memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat dan kebahasaan) yang sama atau
hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir dengan sunnah, tafsir Al-Quran
dengan Al-Qur’an. Kita ketahui juga
mengenai pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah.
Menurut Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu’bah b. Hajjaj berkata,
“Pendapat tabi‘in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa
dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara
mereka dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka
tidak diragukan lagi kehujjahannya.[14]
Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan kepada kita bahwa penting meninjau
kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan tabi’in tersebut kalau ingin
dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa tidak perlu menolak secara mentah-mentah pendapatnya dari tabi’in mengenai Al-Quran.
Lagi
pula mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir al-tabi’in dapat diterima
karena mereka umumnya telah berguru kepada para sahabat dalam menafsirkan
al-Qur’an. Mujahid, contohnya, ia mengatakan bahwa dia telah memaparkan dan
membaca mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali mulai dari awal mushaf
hingga akhir. Menurutnya, Ibn Abbas menghentikan setiap selesai satu ayat, dan
Mujâhid menanyakan kandungan ayat tersebut. Qatâdah juga mengatakan bahwa tak
ada satu ayat pun yang dia pelajari kecuali ayat tersebut telah didengar
maknanya dari para sahabat.[15]
Oleh karena itu mayoritas mufasir mengambil tafsir al-tabi’in untuk
dijadikan rujukan dalam tafsir-tafsir mereka. Maka yang menjadi Sumber primer
tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang
berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang
jelas. Namun Rasulullah SAW. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang
diberikan oleh Allah SWT. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat
mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai
riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan
tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.[16]
D.
Metode
Penafsiran Al-Qur’an Dengan Pendapat Tabi’in
Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in
merupakan metode Tafsir Klasik, karena terdapat tiga cara atau metode
penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode tafsir bil ma’tsur atau bi
Al-riwayah yaitu tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
nas-nas (Teks), baik dengan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, dengan hadis nabi,
aqwal sahabat (perkataan sahabat), maupun dengan para aqwal tabi’in. Kedua,
metode tafsir bi Al-ra’yi atau Aldariyah, yaitu tafsir ayat-ayat
Al-Qur’an yang di dasarkan pada ijtihad mufasir’nya dan menjadikan akal pikiran
sebagai pendekatan umatnya. Ketiga, metode tafsir bi al-Isyarah, yaitu
tafsir sufi, yang didasarkan pada tasauf Amali (praktis) yaitu menakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak
oleh sufi dalam seluknya. Dalam hal ini Penulis tidak akan membahas berbagai
metode tafsir klasik yang tersebut, namun fokus pada kajian tafsir dengan
pendapat tabiin. Jadi dalam hal ini periode tabi’in yang menjadi sumber-sumber
tafsir adalah : al-Qur’an, hadits-hadits
nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad.[17]
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat
dan akal -menurut Subhi As-Shaleh, sekalipun memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia
bertentangan dengan tafsir bil-ma’tsur (pendapat Nabi ). Dan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan
nash-nash Hadis. Maka keduanya saling mendukung dan saling memperkuat. Itulah
yang kita ketemukan dalam kitab-kiab tafsir.[18]
Jadi dalam hal ini akal tidak boleh bertentangan dengan hadis atau sunah nabi
yang terdapat dalam tafsir bil-ma’tsur (penjelasan rasul), apalagi
tejadinya penyimpangan[19]
dalam penafsiran Al-Quran.
Sebelum
melangkah ke dalam upaya-upaya penafsiran, seorang mufassir perlumengikat diri
agar terhindar dari kesalahan-kesalahan. Diantara kekeliruan yang sering muncul
dalam penafsiran adalah subjetivitas penafsir, kekeliruan dalam menerapkan
kaidah, kadangkalah dalam alat-alat dan materi uraian, tidak memperhatikan
kontek apakah asbab al-nuzul atau munasabah dan juga tidak
memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa ditujukan pembicaraan tersebut.[20]
Dan di tegaskan juga oleh A. Syafii Maarif bahwa posisi sentral Al-Qur’an di
dalam kajian keislaman adalah; pertama, sebagai sumber inspirasi dan
dorongan untuk berfikir kreatif dan kontenplatif. Fungsi itu sudah mejadi
kenyataan dalam sejarah islam. Kedua, fungsi sebagai al-Furqan (pemisah
antara yang haq dengan yang batil).[21]
Maka hal itulah yang telah contoh para Nabi, sahabat, tabiin.
M.
Quraish shihab juga menjelaskan dalam hal corak tafsir al-Ma’tsur, baik
sahabat, para tabiin dan atba’ at-tabi’in masih megandalkan metode periwayatan dan
kebahasaan. Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga
memiliki kelemahan-kelemahan. [22]
Keistemewaannya
diantaranya ialah;
a.
Menekankan pentingnya bahasa
dalam memahami Al-Qur’an
b.
Memaparkan ketelitian redaksi
ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya.
c.
Mengikat mufasir dalam
bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan
Sedangkan
kelemahan yang terlihat dalam megandalkan metode ini ialah;
a.
Terjerumusnya sang mufasir
dalam uraian kebahsaaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan
pokok al-Qura’an menjadi kabur di celah uraian itu
b.
Seringkali konteks turunnya
ayat -hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat
tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah
masyarakat tanpa budaya.
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in,
penafsiran Al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak
tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran
Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi
geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits)
sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat.
Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat
dukungan dari Guberbur ‘Ammar Ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn
Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”. [23]
Metode
yang di gunakan pada masa tabi'in tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,
karena para tabi'in mengambil tafsir dari sahabat yang di kenal dengan tafsir
bil ma'tsur. Contoh : Pada surat Ali Imron ayat 133
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa"
Penafsiran
kata muttaqin dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat
berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan
hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang
yang memaafkan. Contoh lain, Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya
memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran
metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran
Mujahid terhadap al-Baqarah ayat 65
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا
مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Artinya
: "Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah
kamu kera yang hina".
Frasa
"jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara
fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya.
Hal ini disebabkan kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai
oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah ayat 5:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ
لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا.....
Artinya
: "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian
mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
tebal".( Qs. Jumu'ah : 5)
Perbedaan
yang terjadi di dalam metode penafsiran tabiin, [24]diantarannya
adalah:
1.
berbeda lafazh, bukan makna
hal
seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya
adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan tuhanmu telah memerintahkan suapaya kamu
jangan meyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik”. (Q.s. Al-Isra: 23) Mengucapkan kata “ah” kepda orang tua
tidak dibolehkan oleh agama apalagi megucapkan kata-kaa atau memperlakukan
mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
Ibn Abbas berkata, “makna qadla adalah amara
(memerintah). “Mujahid berkata, “maknanya adalah washsha (berwasiat).
“Ar Rabi’ Bin Anas berkata, “maknanya adalah wajaba (mewajibkan).
“penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada
pengaruhnya perbedaan.
2.
Berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat
menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan
(kontradiksi). Artinya, ayat tersebut
dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan
keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa
maisng-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebgai contoh /
permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi
saja.
وَّكَأْسً
دِهَاقًا
Contoh
lainnya, firman-Nya, “ Dan gelas-gelas yang penuh )berisi minuman(”
(Qs. An-Naba : 34)
Ibn
abbas berkata, “makna dihaqa adalah penuh. “mujahid berkata, “maknanya adalah
berurutan (teratur). “ikrimah berkata, “maknanya adalah bening. [25]
Sinkronisasi
terhadap pendapa-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh
pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan
pertentangan (kotransiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya
diketengahkan sebagai contoh atau pemisal.
Dalam hal contoh diatas penulis papar hanya
sebagai sampel saja, agar kita mengenal bagaimana metode tabi’in dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Perlu kita ketahui juga bahwa Tabi’in tidak menafsirkan
secara langsung dan keselurahan ayat Al-Quran lalu ditulis, akan tetapi orang
lain yang mengumpulkannya semua pendapat tabiin lalu dikitabkan. Maka tabi’in
tidak punya karangan kitab khusus tafsir, yang seperti pada periode tafsir
modern dan kontemporer sekarang.
E.
Penutup
Tafsir alquran adalah pendapat (ijtihad)
seseorang tentang makna dan kandungan dari teks alquran yang dikaji dengan segenap ilmu dan
permaslahan yang terkait denganya. Dalam hal ini tafsir mengalami perkembangan
dari zaman-kezaman, maka tafsir terkait sekali dengan perkembangan peradapan
dan ilmu pengetahuan manusia dibumi. Jadi tafsir menurut pendapat tabi’in di
masa klasik itu (tafsir bil ma’tsur) sesuai juga dengan ilmu pengetahuan dan
permsalahan yang berkembang pada masa itu.
tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari
bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat
kelak. Akan teatapi petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di
dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada
seseorang saja atau satu generas saja.
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi
kaum muslim terhadap kitab sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari
klasik hingga kontemporer tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an
dipahami oleh generasi awal Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah
menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.
Daftar Kepustakaan
As-Sabuni,
Muhammad Ali, At-Tibyan Fi Ulum
Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997)
Ash-Shidiqiy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra, 2002)
As-Syuti, Imam, al-Itqan, fi
ulum al-quran
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul
Kutub Al-Ilmiyyat, 1990)
As-Shiddiqi, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu
Tafsir, (Semarang :Pustaka Rezki Putra, 2000)
Abid, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Abdullah,
Taufik, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2004
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih, Ushul Fi
At-Tafsir
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008
Al-Qardawi, Yusuf, Kayfa
Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999
Dhahabial, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun,
Beirut: Dâr Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1976
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta : Pustaka
Pelajar,2008
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Khon, Abdul Majid, Ulumul
Hadis, Jakarta : AMZAH, 2009
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka
Al-kautsar, 2005
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16
(Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 16.
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor.2
Qattan (al), Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. Riyad:
al-Ma,had al-,Ali li al-Qada’
Zuhaili,Wahbah, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa
Al-Manhaj, Juz 9. Bairut: Dar Al-Fikri
[1]
3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan,
1997), h. 16.
[2]Abdul
Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode
Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), xv.
[3]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta : AMZAH, 2009), h.113
[4] Muhammad
Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997),h. 341
[5] Thobaqot
mufassir merupakan lapisan atau tingkatan mufassir
[6]
Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka
Rizki Putra, 2002). h2.00
[7]
Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2. H.64
[8] Muhammad
Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997),h. 342
[9]
Imam As-Syuti, Al-Itqan, Fi Ulum Al-Quran, h.175
[10]
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyyat, 1990), H.160
[11]
Lihat Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir,
(Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h.30
[12]
Yunus Hasan Abid, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 35.
[13]
Qattan al, Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. (Riyad: al-Ma’had
al-,Ali li al-Qada’, t.th)h. 339
[14] Ibid.
h 340.
[15]
Dhahabîal, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.(Beirut: Dar
Ihya’al-Turath al-Arabi, 1976), h. 128
[16]
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta : Pustaka
Pelajar,2008), h.32
[17]Ahmad
Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, h.64
[18]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj.( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h.417
[19]
Penyimpangan terhadap penafsiran adalah dengan tidak mengindahkan apa-apa yang
datang dari para pendahulu (salaf) dan keberpalingan terhadap peninggalan
mereka segala sesuatu dari titik nol atau kosong sama sekali tanpa ada pondasi
dan cabang sebelumnya. Salah satu pegangan yang paling kokoh serta aturan
pending memahami ajaran islam serta ketetapan-ketetapan al-Qur’an dan sunnah
Nabinya. Aqidah dan pola pikirannya berdasarkan padanya, ketentuan dan
taklidnya tertanam padanya dan dari sanalah akan bercabang aturan serta sepak
terjangnya. Lihat Yusuf Al-Qardawi, Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran,
Cetkan Pertama (Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999), h.350
[20]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan, 1997), h. 70
[21]
Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam, lihat Taufik
Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h.159
[22]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit
Mizan, 1997), h. 142
[23]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. (Jakarta : Pustaka
Al-kautsar, 2005), h.
426-427
[24]
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Ushul Fi At-Tafsir, h.30-31
[25]Wahbah
Zuhaili, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9.
(Bairut: Dar Al-Fikri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar