Jumat, 18 November 2016

Tafsir Al-Qur'an Dengan Pendapat Tabi'in


TAFSIR ALQURAN DENGAN PENDAPAT TABI’IN
Oleh:
Roni Faslah (31161200000059)

A.      Pendahuluan
Kebutuhan akan tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat kelak. Petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada seseorang saja atau satu generasi. Karena ayat-ayat Al-Qur’an adalah selalu terbuka untuk interpretasi baru dan tidak pernah pasti tertutup dalam interpretasi tunggal.[1]
Tak dapat dipungkiri bahwa studi al-Qur’an selalu berkembang sejak Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.[2]
Maka dalam sejarah berkembagnya tafsir memberikan bentuk tafsir atau corak metode tafsir yang berbeda-beda, baik itu yang dilakuakan sejak masa pirode klasik (masa rasullulah SAW) lalu sampai masa periode tafsir modern atau kontoporer yang dilakukan para ulama atau inteletual muslim. Dalam ini akan melihat bagaimana tafsir tabi’in yang mana bisa dibilang masa klasik (tafsir bil ma’tsur). Sarjanawan mengatan bahwa berakhirnya priode abad pertama yaitu masa generasi sahabat, lalu dilanjutkan abad kedua tafsir adalah periode tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan sesuai dengan pekembangan masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Para mufassir ini konsentrasi pada apa yang ada dalam Al-Qur’an, riwayat sahabat dan ijtihad atas kajian terhdap kitabullah. Manakalah mereka tidak menemukan jawaban dari keterangan nabi atau hadist dan sahabat, terpaksa melakukan ijthad agar menemukan jawabannya.
Dalam makalah sederhana ini, penulis hanya fokus membahasa atau menkaji bagaimana tafsir alquran dengan pendapat tabiin, baik dilihat dari history dan kedudukan, metodenya.

B.      Sejarah Tafsir Tabi’in
Tabi’in merupakan jamak dari تابعين (tabi’i) atau تابع (tabi’). Menurut bahasa تابعين berarti pengikut dan التابع  adalah isim fail dari تبعه yang artinya berjalan dibelakangnya. Menurut istilah tabi’in adalah sebagai berikut “Adalah seorang muslim yang bertemu dan belajar dengan seorang sahabat lalu mati dalamberagama Islam”.[3]Jadi Tabiin merupakan seorang muslim yang berjumpa dan mendalami ilmu agama (Al-Qur’an) dengan sahabat Nabi SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi SAW. Dalam hal penafsiran yang ada pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dan kaum tabi’in diberbagai daerah kawasan islam.
Dan Al-Shabuni menyebut bahwa mufassir pada masa tabi’in jumlah sangatlah banyak, lebih banyak daripada mufassir para sahabat. Banyak tokoh penafsir muncul dari kalangan sahabat yang telah memberikan sumbangan besar dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga para generasi selanjutnya dapat mengambil penafsiran dari pemikiran mereka.[4] Hal itu yang jadi cikal bakalyang dilanjutkan muncunya tafsir generasi tabi’in yang tadi beguru dari para sahabat. Dan sahabat yang tentunya yang memdapat pelajaran lasung dari Nabi mengenai pemahaman Al-Qur’an.
Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan daerah lain, masa ini terjadi kira-kira tahun 100 H / 723 M -181/812 M. yang di tandai dengan wafatnya tabi’in terakhir.  Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy juga mennyatakan Tafsir para sahabat disambut segolongan tokoh-tokoh yang tersebar diberbagai kota. Maka berkembanglah di Makah suatu thobagot mufassirin[5] yaitu, thobaqot Madinah, dan thobagot Iraq.[6] Kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah Bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin Jubair ( w.93 H ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud.[7]
Tabi’in yang terkenal adalah murid murid Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas adalah Mujahid Ibn Jabir, Atha’ Ibn Rabah dan Ikrimah Mauah Ibnu Abbas dan yang paling banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan yang paling sedikit adalah Mujahid, kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Al-Qamah An Nakha’y , Masruq Ibnu Al-Ajda al-Hamdany, Ubaidah Ibnu Amr As-Silmany, dan Al-Aswad Ibnu Yasid An Nakha’y.
Adapun sekolah-sekolah tafsir pada masa tabi'in terbagi menjadi :
1.       Madrasah Ibn Abbas di Makkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqat ulama Makkah mereka adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima, yaitu :
a.       Mujahid ibn Jabir
Mujahid dilahirkan pada tahun 21H dan wafat pada tahun 103 H.[8] Ia adalah Mujahid ibn Jabr  Al-Makki Maula al-Sa’ib Ibn Abi al-Sa’ib, murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Mujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh kali”. Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai 30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata, aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaimana ia turun.[9] Sehubungan dengan ini, imam Nawawi berkata, ‘apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain.
b.      Sa'id ibn Jubair
Ia adalah Muhammad Said ibn Jubair Ibn Hisyam al-Asadi (27 H- 114 H), berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan imam tabiin. Ia sangat menguasai tafsir, hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan itu. Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun hal demikian, ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti tafsir.
c.       Ikrimah
Ia adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (25 H-105H), berasal dari Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya. Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang tafsir.
Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’, Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan pertanyaanpertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan masalah ini. Diantara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’I : Tidak ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya. Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari berkata : Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
d.      Atha' ibn Abi Rabah
Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki (27 H-115 H),- Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW. antara lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Makkah puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya : Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendiri ? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi ini.
e.      Thawus ibn Kaisan al-Yamani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani (33H-106H), orang pertama dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga. Ia juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.
2.    Madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan menancapnya iman, maka guru tafsir kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat agung yaitu Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap tinggal di Dar al-Iman. Para tabi'in banyak menafsirkan Al-Qur’an yang kemudian disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan kata lain pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi, kalau begitu tafsir bir ra’yi tidak perlu dijauhi sepanjang memiliki aargumentasi yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.[10]
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada tiga, yaitu :
a.       Abu al-Aliyah adalah Rafi’ibn Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b.      Muhammad ibn Ka’ab al-Qurzi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur‟an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c.       Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi‟in dan termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur‟an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.
3.       Madrasah Ibn Mas'ud di Kuffah
 Seperti halnya di Makkah terdapat Ibn Abbas sebagai guru tafsir pada masa tabi'in, di Irak terdapat Abdullah ibn Mas'ud yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kuffah. Di Kuffah beliau juga mengajarkan tafsir kepada penduduk Kuffah (dipandang para ulama sebagai cikal bakal lahirnya ahli ra'yi). bersifat ra’yi dalam hal ini wajar karena jauh dari pusat study hadist yang ada di madinah sebagai akibatnya maka timbul banyak masalah khilafiyyah dalam menafsirkan al-quran yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (mengambil ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah :
a.       Alqamah Ibn Qais
Ia lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas‟ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.
b.      Masruq ibn al-Ajda’ ibn Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap Kitabullah.
 Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c.       Al-Aswad ibn Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
 Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas‟ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.      Murrah al-Hamadzani
Ia adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya‟bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.
e.      Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi‟i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Meski banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn alMusayyab dan Amir al-Sya‟bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur‟an dan mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.        Al-Hasan al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula alAnshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di alKutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H dalam usia 88 tahun.
g.       Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha‟ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[11]
Mereka itulah para mufasir terkemuka dari kalangan tabi’in di sejumlah kota-kota Islam dengan ragam tingkatan kemampuan mereka tidak ragukan lagi bahwa sekolah Ibn Abbas mengemban panji kepeloporan di bidang tafsir, sehingga Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa yang paling menguasai tafsir adalah ulama Mekkah, karena mereka telah berguru kepada Ibn Abbâs. Ulama-ulama yang dimaksud adalah Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Sa’id bin Jubayr, dan Tawus.[12]
C.      Kedudukan Tafsir Al-Qur’an Priode Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al- ma’tsur dari tabi‘in bila tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari Rasulullah atau sahabat, apakah tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi‘in tidak diambil karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya, sehingga mereka mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehendaki al-Qur’an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak ada jaminan dalam al-Qur’an maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan para sahabat. Sebagian mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi‘in di bidang tafsir diakui dan diambil, karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut dari sahabat, dan status sahabat adalah ‘adl. [13] Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana kedudukan pendapat tabi’in, bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis katakan bahwa pendapat tabi’in tetab termasuk tafsir bil ma’tsur, dan bisa dijadikan hujah, karena tafsir ini memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat dan kebahasaan) yang sama atau hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir dengan sunnah, tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an.  Kita ketahui juga mengenai pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah. Menurut Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu’bah b. Hajjaj berkata, “Pendapat tabi‘in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara mereka dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka tidak diragukan lagi kehujjahannya.[14] Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan kepada kita bahwa penting meninjau kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan tabi’in tersebut kalau ingin dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa  tidak perlu menolak secara mentah-mentah  pendapatnya dari tabi’in mengenai Al-Quran.
Lagi pula mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir al-tabi’in dapat diterima karena mereka umumnya telah berguru kepada para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Mujahid, contohnya, ia mengatakan bahwa dia telah memaparkan dan membaca mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali mulai dari awal mushaf hingga akhir. Menurutnya, Ibn Abbas menghentikan setiap selesai satu ayat, dan Mujâhid menanyakan kandungan ayat tersebut. Qatâdah juga mengatakan bahwa tak ada satu ayat pun yang dia pelajari kecuali ayat tersebut telah didengar maknanya dari para sahabat.[15] Oleh karena itu mayoritas mufasir mengambil tafsir al-tabi’in untuk dijadikan rujukan dalam tafsir-tafsir mereka. Maka yang menjadi Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Namun Rasulullah SAW. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.[16]

D.      Metode Penafsiran Al-Qur’an Dengan Pendapat Tabi’in
Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in merupakan metode Tafsir Klasik, karena terdapat tiga cara atau metode penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode tafsir bil ma’tsur atau bi Al-riwayah yaitu tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan nas-nas (Teks), baik dengan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, dengan hadis nabi, aqwal sahabat (perkataan sahabat), maupun dengan para aqwal tabi’in. Kedua, metode tafsir bi Al-ra’yi atau Aldariyah, yaitu tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang di dasarkan pada ijtihad mufasir’nya dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan umatnya. Ketiga, metode tafsir bi al-Isyarah, yaitu tafsir sufi, yang didasarkan pada tasauf Amali (praktis) yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam seluknya. Dalam hal ini Penulis tidak akan membahas berbagai metode tafsir klasik yang tersebut, namun fokus pada kajian tafsir dengan pendapat tabiin. Jadi dalam hal ini periode tabi’in yang menjadi sumber-sumber tafsir  adalah : al-Qur’an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad.[17]  
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal -menurut Subhi As-Shaleh, sekalipun memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil-ma’tsur (pendapat Nabi ). Dan  ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash Hadis. Maka keduanya saling mendukung dan saling memperkuat. Itulah yang kita ketemukan dalam kitab-kiab tafsir.[18] Jadi dalam hal ini akal tidak boleh bertentangan dengan hadis atau sunah nabi yang terdapat dalam tafsir bil-ma’tsur (penjelasan rasul), apalagi tejadinya penyimpangan[19] dalam penafsiran Al-Quran.
Sebelum melangkah ke dalam upaya-upaya penafsiran, seorang mufassir perlumengikat diri agar terhindar dari kesalahan-kesalahan. Diantara kekeliruan yang sering muncul dalam penafsiran adalah subjetivitas penafsir, kekeliruan dalam menerapkan kaidah, kadangkalah dalam alat-alat dan materi uraian, tidak memperhatikan kontek apakah asbab al-nuzul atau munasabah dan juga tidak memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa ditujukan pembicaraan tersebut.[20] Dan di tegaskan juga oleh A. Syafii Maarif bahwa posisi sentral Al-Qur’an di dalam kajian keislaman adalah; pertama, sebagai sumber inspirasi dan dorongan untuk berfikir kreatif dan kontenplatif. Fungsi itu sudah mejadi kenyataan dalam sejarah islam. Kedua, fungsi sebagai al-Furqan (pemisah antara yang haq dengan yang batil).[21] Maka hal itulah yang telah contoh para Nabi, sahabat, tabiin.
M. Quraish shihab juga menjelaskan dalam hal corak tafsir al-Ma’tsur, baik sahabat, para tabiin dan atba’ at-tabi’in masih megandalkan metode periwayatan dan kebahasaan. Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga memiliki kelemahan-kelemahan. [22]
Keistemewaannya diantaranya ialah;
a.       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya.
c.       Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan
Sedangkan kelemahan yang terlihat dalam megandalkan metode ini ialah;
a.       Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahsaaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qura’an menjadi kabur di celah uraian itu
b.      Seringkali konteks turunnya ayat -hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in, penafsiran Al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits) sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat dukungan dari Guberbur ‘Ammar Ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”. [23]
Metode yang di gunakan pada masa tabi'in tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi'in mengambil tafsir dari sahabat yang di kenal dengan tafsir bil ma'tsur. Contoh : Pada surat Ali Imron ayat 133

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa"
Penafsiran kata muttaqin dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang memaafkan. Contoh lain, Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujahid terhadap al-Baqarah ayat 65
                                                                                                  
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Artinya : "Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah kamu kera yang hina".

Frasa "jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah ayat 5:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا.....

Artinya : "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal".( Qs. Jumu'ah : 5)
Perbedaan yang terjadi di dalam metode penafsiran tabiin, [24]diantarannya adalah:
1.       berbeda lafazh, bukan makna
hal  seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 
“Dan tuhanmu telah memerintahkan suapaya kamu jangan meyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”. (Q.s. Al-Isra: 23) Mengucapkan kata “ah” kepda orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi megucapkan kata-kaa atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
Ibn Abbas berkata, “makna qadla adalah amara (memerintah). “Mujahid berkata, “maknanya adalah washsha (berwasiat). “Ar Rabi’ Bin Anas berkata, “maknanya adalah wajaba (mewajibkan). “penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan.
2.       Berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut  dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa maisng-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebgai contoh / permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.

وَّكَأْسً دِهَاقًا

Contoh lainnya, firman-Nya, “ Dan gelas-gelas yang penuh )berisi minuman( (Qs. An-Naba : 34)
Ibn abbas berkata, “makna dihaqa adalah penuh. “mujahid berkata, “maknanya adalah berurutan (teratur). “ikrimah berkata, “maknanya adalah bening. [25]
Sinkronisasi terhadap pendapa-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kotransiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh atau pemisal.
Dalam hal contoh diatas penulis papar hanya sebagai sampel saja, agar kita mengenal bagaimana metode tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an. Perlu kita ketahui juga bahwa Tabi’in tidak menafsirkan secara langsung dan keselurahan ayat Al-Quran lalu ditulis, akan tetapi orang lain yang mengumpulkannya semua pendapat tabiin lalu dikitabkan. Maka tabi’in tidak punya karangan kitab khusus tafsir, yang seperti pada periode tafsir modern dan kontemporer sekarang.

E.       Penutup
Tafsir alquran adalah pendapat (ijtihad) seseorang tentang makna dan kandungan dari teks alquran  yang dikaji dengan segenap ilmu dan permaslahan yang terkait denganya. Dalam hal ini tafsir mengalami perkembangan dari zaman-kezaman, maka tafsir terkait sekali dengan perkembangan peradapan dan ilmu pengetahuan manusia dibumi. Jadi tafsir menurut pendapat tabi’in di masa klasik itu (tafsir bil ma’tsur) sesuai juga dengan ilmu pengetahuan dan permsalahan yang berkembang pada masa itu.
tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat kelak. Akan teatapi petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada seseorang saja atau satu generas saja.
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi kaum muslim terhadap kitab sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari klasik hingga kontemporer tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an dipahami oleh generasi awal Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.

Daftar Kepustakaan
As-Sabuni, Muhammad Ali,  At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997)
Ash-Shidiqiy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2002)
 As-Syuti, Imam, al-Itqan, fi ulum al-quran
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyat, 1990)
As-Shiddiqi, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir, (Semarang :Pustaka Rezki Putra, 2000)
Abid, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Abdullah, Taufik, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih, Ushul Fi At-Tafsir
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Al-Qardawi, Yusuf,  Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999
Dhahabial, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut: Dâr Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1976
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta : Pustaka Pelajar,2008
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer,  Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta : AMZAH, 2009
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2005
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 16.
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor.2
Qattan (al), Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. Riyad: al-Ma,had al-,Ali li al-Qada’
Zuhaili,Wahbah, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9. Bairut: Dar Al-Fikri



[1] 3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan, 1997), h. 16.
[2]Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer.  (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), xv.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta : AMZAH, 2009), h.113
[4] Muhammad Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997),h. 341
[5] Thobaqot mufassir merupakan lapisan atau tingkatan mufassir
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2002). h2.00
[7] Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2. H.64
[8] Muhammad Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997),h. 342
[9] Imam As-Syuti, Al-Itqan, Fi Ulum Al-Quran, h.175
[10] Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyat, 1990), H.160
[11] Lihat Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir, (Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h.30
[12] Yunus Hasan Abid, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 35.
[13] Qattan al, Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. (Riyad: al-Ma’had al-,Ali li al-Qada’, t.th)h. 339
[14] Ibid. h 340.
[15] Dhahabîal, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.(Beirut: Dar Ihya’al-Turath al-Arabi, 1976), h. 128
[16] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta : Pustaka Pelajar,2008), h.32
[17]Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, h.64
[18] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj.( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.417
[19] Penyimpangan terhadap penafsiran adalah dengan tidak mengindahkan apa-apa yang datang dari para pendahulu (salaf) dan keberpalingan terhadap peninggalan mereka segala sesuatu dari titik nol atau kosong sama sekali tanpa ada pondasi dan cabang sebelumnya. Salah satu pegangan yang paling kokoh serta aturan pending memahami ajaran islam serta ketetapan-ketetapan al-Qur’an dan sunnah Nabinya. Aqidah dan pola pikirannya berdasarkan padanya, ketentuan dan taklidnya tertanam padanya dan dari sanalah akan bercabang aturan serta sepak terjangnya. Lihat Yusuf Al-Qardawi, Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama (Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999), h.350
[20] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung:  Mizan, 1997), h. 70
[21] Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam, lihat Taufik Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h.159
[22] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 142
[23]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2005), h.  426-427
[24] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Ushul Fi At-Tafsir, h.30-31
[25]Wahbah Zuhaili, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9. (Bairut: Dar Al-Fikri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar